Studi sebelumnya yang
dilakukan oleh Arbeitsgemeinschaft fur
Padiatrische Nephrologie (APN) menunjukkan bahwa risiko kekambuhan pada
pasien dengan sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) tergantung pada
intensitas dari pemberian terapi awal dengan glukokortikosteroid (1,2). Sementara
sebelum itu, data lain yang dipublikasikan (3,4) mengklaim bahwa risiko
kekambuhan pada pasien SNSS secara positif berhubungan dengan derajat supresi
adrenal oleh terapi steroid. Hal ini tidak dikonfirmasi oleh studi percobaan
prospektif acak sebelumnya yang dilakukan oleh APN. Di sisi lain, terapi dengan
glukokortikosteroid jangka pendek pada pasien dengan sindroma nefrotik
menyebabkan kekerapan kambuh yang lebih sering dibanding dengan terapi standar
(1). Pada studi yang baru saja dilakukan oleh APN, terapi awal telah
diperpanjang menjadi 6 minggu dimana terapi dengan prednison 60 mg/m2 per luas
permukaan tubuh diberikan setiap hari dilanjutkan dengan pemberian prednison 40
mg/m2 setiap 48 jam selama 6 minggu (2). Hal ini secara signifikan menyebabkan
peningkatan angka kumulatif pasien dengan lebih lamanya waktu bertahan remisi
setelah 2 tahun (49% dengan terapi awal standar yang baru berbanding 19% dengan
terapi awal standar; P < 0,01).
Studi percobaan
prospektif acak yang dilakukan oleh APN ini menimbulkan hipotesis bahwa jumlah
terapi imunosupresan memiliki pengaruh terhadap kekambuhan pasien SNSS (5).
Berdasarkan hipotesis ini, cukup beralasan untuk mendesain suatu studi dengan
tujuan untuk menurunkan angka kekambuhan dengan meningkatkan pemberian
imunosupresan awal. Oleh karena terjadi peningkatan efek samping yang terkait
dengan pemberian glukokortikosteroid dengan terapi standar baru, tampaknya tidak
diharapkan meningkatkan pemberian imunosupresan dengan meningkatkan dosis
prednison.
Pada beberapa studi, cyclosporine A (CsA) telah dilaporkan
sangat efektif mencegah kekambuhan pada pasien dengan SNSS (6-10). Levamisole
digunakan oleh British APN pada studi percobaan acak dengan keberhasilan jangka
pendek tetapi tanpa efek jangka panjang terhadap angka kekambuhan (11-14). Atas
alasan tersebut, CsA dipilih untuk diuji sebagai agen imunosupresan tambahan
untuk terapi awal anak dengan sindrom nefrotik idiopatik. Tujuan dari studi ini
ialah untuk menguji hipotesis bahwa jumlah imunosupresan awal memiliki pengaruh
terhadap kekambuhan dan untuk membuktikan efektivitasnya dalam menurunkan
kekerapan kambuh, rerata angka kekambuhan tiap pasien, dan dosis prednison
kumulatif yang diperlukan untuk mengobati kekambuhan, serta untuk menilai
tolerabilitas dan keamanan pemberian imunosupresan total seperti efek samping
yang berkaitan dengan pemberian CsA.
Materi
dan Metode
Disain dari studi ini
ialah prospektif, acak, multisenter, open label. Kriteria inklusi di antaranya
pasien pediatrik (berusia 1 ingga 16 tahun) yang pertama kali menderita sindrom
nefrotik dengan proteinuria > 40 mg/m2 per jam, konsenterasi albumin serum
< 25 g/L, dan LFG normal (creatinine
clearance > 68 ml/menit dibagi 1,73 m2); tidak pernah memperoleh terapi
steroid atau imunosupresan sebelumnya; dan tidak berada dalam keadaan
kontraindikasi terhadap terapi kortikosteroid. Biopsi ginjal tidak diminta pada
saat kedatangan pasien. Persetujuan medis telah diminta dan diperoleh dari
orang tua dan pasien sendiri, tergantung pada kemampuan perspektif
masing-masing pasien. Kriteria eksklusi di antaranya kadar komplemen c3 yang
rendah; pasien dengan glomerulonefritis pascainfeksi; dan penyakit sistemik
seperti lupus eritematosus, diabetes, amyloidosis, vaskulitis, nefritis
Schonlein-Henoch, nefritis metabolik atau toksik, hepatitis B, atau penyakit
glomerular herediter.
Protokol
Penelitian
Pasien yang baru pertama kali mendertia
sindrom nefrotik dipilih secara acak oleh coordinating
office (dari Fakultas Kedokteran Hannover) dibagi menjadi dua kelompok:
kelompok pertama diberikan terapi standar berupa prednison 60 mg/m2 per hari
selama 6 minggu dilanjutkan dengan prednison 40 mg/m2 setiap 48 jam selama 6
minggu (kelompok Pred). Kelompok kedua diberikan regimen prednison yang sama
ditambah dengan CsA dengan dosis 150 mg/m2 per hari selama 8 minggu (kelompok
Pred + CsA). Pemberian CsA dimulai ketika urin dalam keadaan bebas protein
selama 3 hari berturut-turut. Pasien yang tidak bersespon dalam waktu 4 minggu
didefinisikan sebagai pasien yang tidak sensitif steroid dan dieksklusi dari
studi. Karena alasan ini, CsA harus dimulai dalam 4 minggu pertama setelah
pemberian steroid awal dan oleh karenanya, dirancang dengan durasi total 12
minggu terapi prednison. Definisi dan kriteria dari remisi dan kambuh sama
seperti yang digunakan oleh International
Study of the Kidney Disease in Children dan APN (15,16). Kekambuhan diobati
sesuai dengan regimen terapi dari APN (60 mg/m2 per hari hingga urin bebas
protein selama 3 hari dilanjutkan dengan prednison 40 mg/m2 setiap 48 jam
selama 4 minggu). Pasien yang tidak berespon dalam waktu 4 minggu pemberian
steroid dieksklusi dari studi dan menjalankan biopsi ginjal. Pasien dengan
resistensi steroid sekunder juga menjani biopsi ginjal dan dieksklusi dari
studi. Pasien dengan ketergantungan steroid sesuai dengan definisi dari APN
diobati pada dengan Siklosposfamid (Gambar 1).
Titik potong utama
(primer) ialah kekambuhan pertama setelah pemberian terapi awal. Untuk pasien
yang menerima sikloposfamid, awal pemberian sikloposfamid merupakan titik potok
sekunder pada studi ini. Keseluruhan follow-up ialah selama 24 bulan dan
merupakan akhir dari waktu penelitian.
Data klinis dan nilai
laboratorik telah dilaporkan kepada kantor pusat penelitian pada titik-titik
waktu tertentu yakni saat permulaan terapi prednison; dan setelah 6 dan 12
minggu, serta 6, 12, 18, dan 24 bulan. Pasien yang diobati dengan CsA dimonitor
dengan menilai Blood Trough Concentration
CsA 12 jam (mAb; Abbott, Wiesbaden, Germany) pada hari
ke-3, 7, 14, 28, 42, dan 56.
Komite etik dari setiap
senter yang berpartisipasi menyetujui protokol studi ini. Persetujuan medis
tertulis telah diminta dari orang tua dari setiap pasien sebelum studi
dilakukan, yang dilakukan sesuai apa yang tercantum dalam Deklarasi Helsinki. Hal
yang betul-betul merugikan, keterikatan pasien dalam mendapatkan obat, dan
alasan tertentu yang mengharuskan perubahan protokol didiskusikan dengan
seluruh kelompok studi. Tidak ada penyimpangan yang perlu dilakukan selama
studi ini.
Analisis
Statistik
Manajemen data dan
analisis statistik dilakukan secara independen oleh Departemen Biostatistik
Fakultas Kedokteran Hannover yang dimotori oleh H. Geerlings. Diperkirakan
perbedaan sekitar 20% untuk kedua kelompok dan 80% untuk analisis, 40 kasus
setidaknya diperlukan untuk masing-masing kelompok guna studi perbandingan,
untuk perbedaan sekitar 15%, diperlukan 164 kasus. analisis sementara dilakukan
demi alasan keamanan. Uji statistik dilakukan di akhir studi. Beberapa uji
statistik pun dilakukan: Uji Mann Whitney U, uji T berpasangan dan tidak
berpasangan, serta uji Wilcoxon rank dan Kai Kuadrat (X2). Untuk analisis faktor
risiko, regresi logistik, regresi Cox, dan receiver
operator characteristics (ROC) telah diaplikasikan. Semua prosedur diolah
dengan Statistical Package of Society
Science (SPSS versi 11.0;SPSS, Inc., Chicago, IL).
Pasien
Pada awalnya pasien
studi berjumlah 152 pasien yang telah dilaporkan ke coordinating office; 76 pasien dipilih secara acak lalu
dikelompokkan menjadi kelompok Pred, dan 76 lainnya dipilih sebagai kelompok
Pred + CsA. Pada kedua kelompok ini, beberapa pasien dieklusi setelah proses
randomisasi. Alasan-alasan pasien dieksklusi dapat dilihat pada Gambar 1. 11
Pasien pada kelompok Pred dan 14 pasien pada kelompok Pred + CsA tidak ikut
dalam penelitian karena mereka menolak persetujuan setelah proses randomisasi
selesai. Empat belas pasien diekslusi karena diagnosis kemudian berubah menjadi
penyakit dengan perubahan minimal yang tidak sensitif steroid. Lima pasien
dengan glomerulonefritis segmental fokal dieksklusi pada kelompok Pred dan 6
pasien dengan tipe glomerulonefritis yang sama juga dieksklusi pada kelompok
Pred + CsA. Dua pasien yang menderita infeksi varisela selama terapi diberikan
juga dieksklusi dari studi demi alasan keamanan pasien. Pada mulanya mereka
dipilih secara acak dan dikelompokkan ke dalam kelompok Pred + CsA tetapi
mereka tidak pernah menerima CsA karena infeksi yang terjadi sebelum remisi
tercapai. Hal yang sama juga berlaku pula pada seorang pasien dengan trombosis
serebrovaskuler. Pasien lain menderita trombosis pada arteri karotis internal
ketika terapi sedang dijalani. Telah
dinilai bahwa trombosis yang terjadi bukan disebabkan oleh terapi dalam studi
ini melainkan gangguan berupa kinking
pada arteri karotis pasien tersebut. Kasus ini dilaporkan pada jurnal
terpublikasi lain (17). Seluruhnya, 13% dari 152 pasien dieksklusi dari studi
karena alasan medis dan 18% tereksklusi karena alasan nonmedis.
Data demografis dari
pasien (kedua kelompok) yang masih masuk dalam kriteria penelitian (Tabel 1)
yang sebanding dan berada dalam rentang studi yang dilakukan APN sebelumnya.
Konsenteras protein total, albumin, kolesterol, kreatinin, urea, magnesium,
asam urat, IgA, IgG, dan IgM serum sebanding pada kedua kelompok dan tidak ada
perbedaan secara statistik. Sebelum mencapai akhir dari observasi selama 2
tahun, 12 pasien pada kelompok Pred diobati dengan sikloposfamid karena
mengalami kekambuhan disertai toksisitas steroid atau karena ketergantungan
steroid. Pada kelompok Pred + CsA, lima pasien diobati dengan sikloposfamid dan
tidak mencapai follow-up lengkap selama 2 tahun. Oleh karena itu, jumlah pasien
(baik dari kelompok Pred maupun kelompok Pred + CsA) yang masih berada dalam follow-up setelah 6 bulan ialah
53:49, setelah 12 bulan 46:45, setelah 18 bulan 45:44, dan setelah 24 bulan
43:44.
Hasil
Dosis pemberian CsA
rata-rata dan pencapaian blood trough
level dapat dilihat pada Tabel 2. Koreksi dosis individu dilakukan untuk
menjaga trough level CsA pasien tetap
berada dalam target kisaran 80-180 ng/ml. Konsentrasi CsA rata-rata berada di
dalam rentang tersebut; meskipun sebagian individu memiliki konsentrasi yang
rendah (35 ng/ml) dan sebagian lainnya
memiliki konsentrasi yang terlampau tinggi (355 ng/ml). Baik efek samping
maupun efektivitas dari terapi CsA dapat memiliki korelasi terhadap dosis dan trough level masing-masing individu.
Karakteristik absorpsi CsA tidak dinilai pada studi ini.
Setelah pemberian
terapi lengkap, nilai tengah (median) dari periode bertahan remisi pada
kelompok Pred ialah 12,5 bulan (dengan interval kepercayaan 95% berkisar antara
5,9 hingga 19,1 bulan) dan pada kelompok
Pred + CsA ialah 22,8 bulan (dengan interval kepercayaan 95% berkisar antara
11,6 hingga 34,0 bulan; P = 0,1). Kurva
Kaplan-Meier untuk periode bertahan remisi menunjukkan tertangguhnya kekambuhan
pertama yang terjadi pada kelompok Pred + CsA (Gambar 2). Enam dan 12 bulan
setelah terapi awal diberikan, perbedaan antara kedua kelompok terapi secara signifikan
berbeda (P < 0,05); namun, setelah 18 dan 24 bulan, perbedaan tidak tampak
lagi. Rerata kekambuhan pasien meningkat selama 2 tahun observasi; pada
kelompok Pred + CsA, dan hanya sebagian pada kelompok Pred: Rerata kekambuhan
per pasien pada kelompok Pred + CsA setelah 6, 12, 18, 24 bulan ialah 0,12,
0,63, 1,03, dan 1,03 dibanding dengan 0,57, 1,29, 1,56, dan 2,08 pada kelompok
Pred secara berturut-turut. Perbedaan
kedua kelompok signifikan secara statistik, namun, hanya dalam waktu observasi
6 dan 12 bulan saja (P = 0,01 dan P = 0,02), tidak pada bulan selanjutnya (P =
1).
Dosis prednison
kumulatif rata-rata yang diperlukan untuk menyembuhkan kekambuhan pada kelompok
Pred + CsA lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok Pred. Setelah 6, 12,
18, dan 24 bulan, rerata dosis prednison kumulatif ialah 292, 953, 1864, dan
2854 mg/m2 dibandingkan dengan 698, 1683, 2808, dan 3824 mg/m2. Perbedaan ini secara statistik tidak
signifikan.
Keamanan
dan Tolerabilitas
Secara umum terapi
dengan CsA lebih dapat ditoleransi oleh pasien. Infeksi yang berkaitan dengan
terapi kombinasi (prednison + CsA) tidak dilaporkan. Perhatian terutama
ditujukan pada efek samping yang dapat ditimbulkan oleh terapi kominasi
tersebut yakni berupa efek samping nefrotoksik, tetapi dalam hal ini fungsi
ginjal tidak menunjukkan adanya tanda-tanda detereorasi (kerusakan). Seperti
yang ditampilkan pada Gambar 3, rerata konsenterasi kreatinin serum berada
dalam kisaran yang sama pada kedua kelompok pada akhir minggu ke 12 setelah
pengobatan awal. Pada seluruh pasien, Laju Filtrasi Glomerulus (dihitung dengan
formula Scwartz [18]) dalam batas normal. Pada akhir studi, kreatinin serum
sama pada kedua kelompok (46,2 ± 10,0 μmol/L pada kelompok Pred dan 48,2 ± 11,1 μmol/L pada kelompok Pred + CsA).
Tekanan darah meningkat
dalam waktu sementara akibat terapi dengan CsA,
kenaikan tekanan darah sistolik rata-rata 10 mmHg sedangkan kenaikan
tekanan darah diastolik rata-rata 8 mmHg, namun berangsur menjadi normal pada
fase akhir dari terapi (Gambar 4). Tidak ada pasien yang mendapatkan terapi
antihipertensi.
Efek sampinng lain yang
berkaitan dengan terapi CsA seperti hipertensi dan hipertrofi gusi terlihat lebih
sering terjadi tetapi berangsur kembali menjadi normal pada semua pasien
(Gambar 5). Obesitas lebih sering dilaporkan terjadi selama pemberian terapi
prednison yang lebih lama tatapi secara signifikan berbeda di antara kedua
kelompok. Selama periode keseluruhan studi, striae distensae terjadi pada 25%
pasien kelompok Pred dan 22,4% kelompok Pred + CsA. Gangguan psikologis telah
dilaporkan lebih banyak terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi kombinasi; terjadi
pada 27% pasien yang diterapi dengan CsA dibanding dengan 14% pasien yang
diterapi dengan prednison saja.
Faktor
Risiko untuk Kambuh
Meskipun terdapat beberapa
perbaikan pada angka kekambuhan dengan meningkatkan pemberian imunosupresan
awal, pertanyaan yang masih belum terjawab ialah mengapa sebagian pasien tetap
mengalami kekambuhan dan sebagian yang lain tidak. Untuk mengidentifikasi
faktor risiko untuk kambuh, lami telah melakukan analisis regresi multipel dan
logistik. Data demografik seperti usia,
tinggi badan, berat badan, dan jenis kelamin, nilai laboratorik pada saat
pasien belum mendapatkan pengobatan ataupun ketika mengalami remisi, serta
konsenterasi CsA telah dimasukkan.
Analisis statistik
menunjukkan bahwa hanya usia dan konsentrasi protein pada manifestasi awal yang
merupakan faktor risiko signifikan. Anak
yang berusia kurang dari 7 tahun dan memiliki konsentrasi protein < 44 g/L
memiliki risiko yang tinggi untuk kambuh dan secara signifikan menunjukkan
angka bertahan dalam keadaan remisi lebih baik dengan terapi CsA (P = 0,03) selama
2 tahun observasi yang dilakukan (Gambar 6)
Seperti yang
ditampilkan pada Gambar 7, regresi logistik menunjukkan bahwa usia pada saat
manifestasi awal secara signifikan berkaitan dengan risiko kekambuhan setelah
terapi awal. Pengaruh ini lebih jelas terjadi pada kelompok Pred dibandingkan
dengan kelompokv Pred + CsA. Risiko
mengalami kekambuhan pada pasien usia 2 hingga 3 tahun ialah empat kali lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien yang berusia lebih dari tujuh tahun.
Diskusi
Dikenalnya secara
empiris kontikosteroid untuk mengobati penderita sindrom nefrotik dengan
perubahan minimal (Minimal-Change
Nephrotic Syndrome/MCNS) pada pertengahan abad ke-21 ini memperbaiki
morbiditas dan mortalitas. Namun, kekambuhan yang terjadi kira-kira pada 40%
penderita yang merespon prednison (19) menyebabkan ketergantungan akan steroid
dan juga berdampak pada efek samping yang berat dari penggunaan steroid
(5,20-23). Oleh karena itu, percobaan multisenter telah dilakukan untuk
menemukan modalias terapi yang dapat menurunkan angka kekambuhan dan
ketergantungan steroid, serta menurunkan berbagai efek samping akibat
penggunaan glukokortikosteroid.
Berlandaskan pada studi
percobaan terkontrol acak, APN mengusulkan suatu terapi yang disebut dengan
terapi awal standar yang baru, yakni pemberian prednisolon secara kontinyus
setiap hari selama 6 minggu dilanjutkan dengan pemberian prednison pada hari-hari
tertentu selama 6 minggu (2). Secara relatif kekerapan yang tinggi untuk
terkena efek samping akibat steroid telah diimbangi dengan penurunan dosis
steroid kumulatif yang diperlukan untuk mengobati kekambuhan. Untuk mencegah dosis yang lebih
tinggi, penambahan obat-obat imunosupresan yang telah terbukti efektif mencegah
kekambuhan, cukup beralasan untuk dikombinasikan. Terapi sikloposfamid dapat
menjadi pilihan, tetapi efek samping belum tentu tidak terjadi pada individu
tertentu dari seluruh pasien, karena rata-rata 50% akan mendapat pengaruh
terapi yang tidak perlu yang secara potensial merugikan.
Dibandingkan dengan obat lain, CsA
memiliki keuntungan tersendiri yakni konsenterasinya dapat dihitung. Hal ini
memungkinkan memperkirakan kepatuhan serta menyesuaikan dosis terhadap
konsenterasi darah, yang telah diketahui memiliki efek imunosupresan pada
kondisi tertentu, khususnya transplantasi organ. Telah jelas bahwa kisaran
dosis dan trough level untuk
pengobatan MCNS lebih banyak berdasar kepada pengalaman klinis daripada
percobaan respon terhadap dosis.
Hingga saat ini, studi
mengenai respon terhadap dosis tidak ada. Dari studi yang menggunakan CsA pada
penderita sindrom nefrotik bergantung steroid, terdapat bukti yang jelas bahwa
CsA efektif dalam mencegah kekambuhan selama obat diberikan; namun, setelah
obat dihentikan, lebih dari 90% pasien akan mengalami kekambuhan segera atau
setidaknya dalam 90 hari (25).
Pada studi ini, adalah
mengesankan bahwa kelompok Pred + CsA secara signifikan mengalami kekambuhan
dalam waktu satu tahun setelah akhir dari terapi. Namun setelahnya, efek obat
melemah, dan setelah 2 tahunm angka kekambuhan hampir sama pada kedua kelompok.
Beberapa data lain seperti rata-rata jumlah kambuh per pasien (0,12:0,57
setelah 6 bulan, 0,63:1,03 setelah 1 tahun, dan 1,03:2,06 setelah 2 tahun),
dosis steroid kumulatif diperlukan untuk mengobati kekambuhan, dan jumlah
pasien yang diobati dengan sikloposfamid karena mereka memenuhi definisi
ketergantungan steroid, ialah lebih rendah pada kelompok Pred + CsA (5:12),
tetapi tingkat perbedaan yang signifikan secara statistik tidak dapat
dibuktikan (P = 0,1). Kombinasi dari semua faktor-faktor tunggal dapat
mengarahkan kepada efek manfaat dari penambahan CsA selama 8 minggu.
Mungkin ada yang berpendapat
bahwa studi ini tidak didukung secara adekuat untuk menguji hipotesis perbedaan
dalam urutan 10 hingga 20%. Kami tidak
bertujuan untuk meningkatkan jumlah pasien karena dua alasan: Pertama, pada
desain awal, kami berencana untuk mengikutsertakan 150 pasien, dan kedua,
manfaat biologis dari perbedaan ini tampaknya terlalu rendah untuk membenarkan
kombinasi terapi ini bahkan dengan adanya konfirmasi statistikal dari studi
yang lebih tinggi sekalipun. Mengenai efek samping, tidak hanya gangguan pada
LFG yang telah dilaporkan setelah pemberian terapi CsA jangka panjang, tetapi
juga perubahan-perubahan fungsional yang dapat disebabkan oleh pemberian jangka
pendek juga telah dilaporkan. Hulton et al. (26) melaporkan penurunan LFG
setelah 3 bulan peberian terapi takni dari 118 menjadi 93 ml/menit per 1,73 m2,
yang bersifat reversibel setelah terapi CsA dihentikan. Selain fakta ini,
toksisitas histologik yang berkaitan dengan penggunaan CsA telah dilaporkan.
Terapi CsA selama 8 minggu pada studi kami ini tidak menyebabkan gangguan pada
LFG yang daoat dihitung. Namun, terdapart efek tingkat sedang pada tekanan
darah. Kenaikan tekanan darah ini bersifat sementara dan tidak memerlukan
pengobatan dengan antihipertensif pada kasus tunggal.
Efek samping kosmetik,
seperti hipertrikosis dan hipertrofi gusi, lebih relevan dan untungnya bersifat
reversibel sempurna. Hal ini dapat diterima bila manfaat berupa pencegahan
kekambuhan telah sangat jelas. Gangguan psikologis, meskipun tidak
dispesifikasi lebih jauh, terutama berupa gangguan perilaku dan ini menjadi
perhatian utama. Perlunya kontrol ketat terhadap level darah CsA yakni dengan
kunjungan yang lebih sering dibandingkan kunjungan pada kelompok Pred juga
dinilai sebagai kerugian utama dari terapi kombinasi prednison dan CsA.
Tujuan dari studi ini
ialah menurunkan jumlah pasien yang masuk dalam kriteria APN untuk mendapatkan
terapi sikloposfamid. Terdapat manfaat jangka pendek, tetapi itu hanya efek
yang sementara karena terjadi perubahan ke titik dimana angka kekambuhan
kumulatif 2 tahun sama pada kedua kelompok.
Sebelumnya, kelompok
Cochrane (27) menelaah studi percobaan terpublikasi mengenai lama pemberian
prednison pada anak dengan episode pertama sindrom nefrotik. Sebuah metanalisis
dari 6 studi percobaan yang membandingkan pemakaian prednison selama 2 bulan
dengan pemakaian selama 3 bulan atau lebih untuk episode pertama menunjukkan
bahwa secara signifikan durasi yang lebih lama menurunkan risiko kambuh pada 12
hingga 24 bulan (risiko relatif 0,70; dengan interval kepercayaan 95% 0,58
hingga 0,84) tanpa peningkatan risiko yang merugikan. Terdapat hubungan yang
terbalik antara durasi pengobatan dan risiko kekambuhan (risiko relatif 1,26
hingga 0,112 durasi; R2 = 0,56; P = 0,03). Mereka menyimpulkan bahwa
anak dengan episode pertama SNSS sebaiknya diobati setidaknya selama tiga
bulan, dengan peningkatan manfaat bila diterapi lebih dari 7 bulan. Data ini
mendukung hipotesis kami mengenai pentingnya jumlah pemberian imunospuresan
awal tetapi tidak menyediakan alternatif untuk masalah klinis berkenaan dengan
pemberian terapi steroid kumulatif yang tinggi.
Kesimpulan
Delapan
minggu pemberian terapi CsA pada pasien dengan manifestasi awal SNSS memberikan
pengaruh pada jumlah kekambuhan yang berlangsung selama satu tahun. Berkurangnya
pengaruh tersebut setelah 2 tahun, seperti efek samping dan perlunya kontrol konsenterasi
darah, mengurangi rekomendasi protokol ini pada semua pasien. Risiko kambuh yang
lebih tinggi pada anak yang berusia lebih muda secara signifikan merupakan
temuan yang penting. Penambahan terapi CsA tampaknya dapat menurunkan risiko
tersebut tetapi tidak betul-betul menghilangkannya. Studi lebih jauh sebaiknya
mengklasifikasikan pasien pediatrik yang menderita sindrom nefrotik berdasarkan
kelompok usia, dan terapi intensif sebaiknya difokuskan pada kelompok yang
lebih muda.
Akhirnya, tetap saja
sulit menjelaskan bahwa efek dari CsA atau kombinasi steroid dengan CsA
berlangsung lebih lama daripada efek jangka pendek CsA terhadap inhibisi
kalsineurin limfosit dan terhadap inhibisi trnaskripsi dan sintesis sitokin,
yang hanya berlangsung dalam hitungan jam. Dengan mempertimbangkan MCNS sebagai
suatu penyakit podosit dengan destabilisasi sementara pada struktur dan fungsi
podosit tersebut, merupakan hipotesis yang beralasan bahwa CsA menstabilkan
struktur dan fungsi podosit dengan mengganggu target podosit molekuler daripada
dengan efek imunosupresan secara tidak langsung.
TELAAH KRITIS JURNAL TERAPI
PERTANYAAN KRITIS
1.
Apakah
alokasi subyek penelitian ke kelompok
terapi atau kontrol betul-betul secara acak (random) atau tidak ?
2.
Apakah
semua keluaran (outcome) dilaporkan ?
3.
Apakah
studi menyerupai lokasi anda bekerja atau tidak ?
4.
Apakah
kemaknaan statistik maupun klinis dipertimbangkan atau dilaporkan ?
5.
Apakah
tindakan terapi yang dilakukan dapat dilakukan ditempat anda bekerja atau tidak
?
6.
Apakah
semua subyek penelitian diperhitungkan dalam kesimpulan ?