Patogenesis Sindrom Nefrotik

|0 comments

Infeksi Sitomegalovirus (CMV)

|0 comments
Infeksi Sitomegalovirus adalah suatu penyakit virus yang bisa menyebabkan kerusakan otak dan kematian pada bayi baru lahir. Bisa di dapat sebelum lahir atau setelah lahir. Infeksi sitomegalovirus bisa terjadi pada orang yang menerima darah terinfeksi atau jaringan cangkokan yang terinfeksi, misalnya ginjal. Sekitar 60-90% orang dewasa mengalami infeksi sitomegalovirus, Infeksi serius biasanya terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan, misalnya penerima cangkok sumsum tulang atau penderita AIDS.
Sitomegalovirus yang terjadi pada bayi jika virus dari ibu yang terinfeksi menular kepada janin yang dikandungnya melalui plasenta (ari-ari).
Klasifikasi sitomegalovirus
Famili              : herpes viridae
Subfamily        : Betaherpesvirinae
Genus              : Sitomegalovirus
Spesies            :

Gejala
Kebanyakan bayi yang menderita sitomegalovirus hanya menunjukkan gejala-gejalanya  10%, yaitu: berat badan lahir rendah, mikrosefalus (kepala kecil), kejang, ruam kulit (peteki/bintik-bintik kecil berwarna keunguan), jaundice (sakit kuning), ubun-ubun menonjol, pembesaran hati dan limpa (hepatosplenomegali), peradangan retina, kalsifikasi intrakranial (pengendapan mineral di dalam otak). Bayi yang terinfeksi setelah lahir bisa menderita pneumonia, pembesaran dan peradangan hati serta pembesaran limpa. Infeksi sitomegalovirus sebelum lahir, bisa menyebabkan keguguran, lahir mati atau kematian pada bayi baru lahir. Jika seseorang menerima darah yang terinfeksi sitomegalovirus, gejala-gejalanya bisa dimulai dalam waktu 2-4 minggu kemudian.
Gejalanya berupa demam selama 2-3 minggu dan kadang-kadang peradangan hati (hepatitis), mungkin disertai sakit kuning. Jumlah limfosit bisa meningkat. Kadang-kadang timbul ruam-ruam.
Pada penderita AIDS, sitomegalovirus sering mengenai retina mata dan menyebabkan kebutaan. Infeksi pada otak (ensefalitis) atau borok pada usus atau kerongkongan juga bisa terjadi.

Pengobatan
            Infeksi sitomegalovirus yang ringan biasanya tidak memerlukan pengobatan, dan akan sembuh dengan sendirinya. Jika infeksi mengancam kehidupan atau penglihatan penderita, bisa diberikan obat anti-virus gansiklovir atau foskarnet. Meskipun obat-obat ini memiliki efek samping yang serius dan tidak menyembuhkan infeksi, tetapi pengobatan yang diberikan sering memperlambat perkembangan penyakit.  Pada bayi anti-virus gansiklovir tidak diberikan karena memiliki efek samping yang berbahaya. Pengobatan ditujukan dengan terapi fisik

Cara penularan
Penularan terjadi melalui kontak langsung selaput lendir dengan jaringan. CMV (sitomegalovirus) di ekskresikan melalui urin, ludah, ASI, sekret serviks dan semen pada infeksi primer maupun pada infeksi reaktivasi. Janin bisa tertular in utero dari ibu baik berupa infeksi primer maupun berupa infeksi reaktivasi; infeksi janin dengan manifestasi klinis yang berat pada waktu lahir sering terjadi sebagai akibat infeksi primer dari ibu. Virus dapat ditularkan kepada bayi melalui ASI, melalui transfusi darah  penularan mungkin terjadi melalui lekosit. Ditemukan bahwa CMV di ekskresikan oleh sebagian besar anak-anak di tempat penitipan, hal ini bisa menjadi sumber infeksi bagi masyarakat. Penularan melalui hubungan seks ini dilihat dari penderita dikalangan homoseksual yang berhubungan seks dengan banyak pasangan.Virus di ekskresikan melalui urin dan air ludah selama beberapa bulan dan tetap bertahan atau akan muncul secara periodik selama beberapa tahun sesudah infeksi primer. Sesudah infeksi neonatal, virus mungkin di ekskresikan selama 5 – 6 tahun. Orang dewasa mengekskresikan virus dalam jangka waktu yang lebih pendek, namun virus akan tetap ada sebagai infeksi laten


Masa inkubasi
Gejala sakit pasca transplantasi ataupun pasca transfusi yang mengandung virus akan muncul dalam waktu 3 – 8 minggu. Sedangkan Infeksi yang didapat pada waktu proses kelahiran gejala klinis akan tampak 3 – 12 minggu sesudah kelahiran.
 
Cara -cara pemberantasan
·         Waspada dan hati-hati pada waktu mengganti popok bayi, cuci tangan dengan baik sesudah mengganti popok bayi dan buanglah kotoran bayi di jamban yang saniter.
·         Hindari melakukan transfusi kepada bayi baru lahir dari ibu yang seronegatif dengan darah donor dengan seropositif CMV.
·         Hindari transplantasi jaringan organ dari donor seropositif CMV kepada resipien yang seronegatif. Jika hal ini tidak dapat dihindari, maka pemberian IG hiperimun atau pemberian antivirus profilaktik mungkin menolong.

Pintu Gerbang yang Masih Tertutup

|0 comments
Pagi ini tampak ada sedikit kejanggalan di rumah sakit. Sekitar pukul 06.30 WIB, seharusnya semua kegiatan memeriksa pasien telah usai dikerjakan; tapi tidak untuk hari ini. 
Tampak banyak tenaga medis dan keluarga pasien berbondong mengitari rumah sakit karena ada salah satu akses jalan yang masih terkunci. Jalan yang dibatasi pintu gerbang tersebut bisa dibilang merupakan satu-satunya akses jalan yang digunakan untuk menuju setidaknya ke 10 bangsal pasien, yang mana terletak di sisi utara dari rumah sakit; bila terkunci/belum dibuka, akibatnya tenaga medis harus mengitari pintu belakang agar dapat menuju ke bangsal pemeriksaan pasien. 
Atas kejadian ini, tetap saja sulit menyalahkan sistem yang dibuat oleh pihak rumah sakit karena telah memberikan tanggung jawab tertentu hanya pada seseorang, yang dapat saja khilaf dalam bekerja.

Stetoskop

|0 comments
Stetoskop merupakan alat kedokteran yang digunakan untuk mendengar suara di dalam tubuh. Penggunaan stetoskop banyak diaplikasikan pada pemeriksaan sistem pernapasan, kardiovaskuler, dan gastrointestinal.

Berdasarkan perkembangan zaman, stetoskop dibagi menjadi dua, yakni stetoskop akustik biasa dan stetoskop elektronik. Stetoskop akustik biasa menyalurkan suara dari dalam tubuh dengan memanfaatkan penghantaran suara dari media-media tertentu dalam tubuh, seperti benda pada (massa atau tulang), benda cair (cairan atau darah), dan benda semipadat/cair seperti dahak ataupun pus. Stetoskop elektronik merupakan stetoskop yang dapat digunakan untuk mendengar suara dengan intensitas yang rendah dari tubuh karena dapat secara elektrik memperkuat suara dari dalam tubuh. Belakangan ini penggunaan stetoskop elektrik semakin umum.

Berdasarkan penggunaannya pada individu, stetoskop dibagi menjadi stetoskop anak dan stetoskop dewasa. Stetoskop anak berukuran membran lebih kecil dibandingkan membran pada stetoskop dewasa, serta memiliki sensitivitas bunyi lebih rendah karena notabene digunakan pada anak yang masih memiliki ketebalan dinding dada yang tipis.

Posting mengenai stetoskop anak akan dibahas lebih mendetail pada kesempatan selanjutnya.

Terapi Awal Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak: Prednison dibandingkan dengan Prednison ditambah Siklosporin: Sebuah Studi Percobaan Prospektif Acak

|0 comments
Studi sebelumnya yang dilakukan oleh Arbeitsgemeinschaft fur Padiatrische Nephrologie pada anak dengan sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) menunjukkan bahwa lama pemberian terapi prednison awal berpengaruh terhadap tingkat kekambuhan penyakit di kemudian hari. Tujuan dari studi multisenter, prospektif, dan acak ini ialah untuk mengurangi angka  kekambuhan dengan meningkatkan pemberian imunosupresan awal: Pasien dengan serangan awal sindrom nefrotik dipilih secara acak untuk mendapatkan pengobatan prednison 60 mg/m2 per hari selama 6 minggu dilanjutkan dengan pemberian prednison 40 mg/m2 setiap 48 jam selama 6 minggu (Kelompok Pred) atau dengan pemberian prednisone (sama dengan sebelumnya) ditambah dengan pemberian siklosporin selama 8 minggu (kelompok pred + CsA). Titik potong utama ialah kekambuhan pertama; follow-up berhenti dalam waktu 2 tahun. Pada kelompok Pred + CsA (n = 49 pasien), kekambuhan pertama terjadi lebih lama dibanding dengan kelompok Pred (n = 55 pasien) (median/nilai tengah 22,8:12,5 bulan). Setelah 6 bulan, 10,4% pasien kelompok Pred + CsA mengalami kekambuhan pertama lebih sedikit dibanding pasien kelompok Pred yakni sebanyak 31,5% pasien (P = 0,01); setelah 1 tahun, 36,5%:51% (P = 0,15); dan setelah 2 tahun, 51%:50%. Rerata angka kekambuhan untuk setiap pasien ialah 0,12:0,57 setelah 6 bulan (P = 0,01), 0,63:1,03 setelah satu tahun (P = 0,02), dan 1,03:2,06 setelah 2 tahun (tidak signifikan). Manfaat yang signifikan dari penambahan CsA akan hilang setelah 9 hingga 12 bulan. Jaju Filtrasi Glomerulus (LFG) tetap tidak berubah. Banyaknya terapi lanjutan dengan sikloposfamid lebih rendah pada kelompok CsA (5:12 pasien) setelah 2 tahun. Dengan menggunakan statistik regresi logistik, anak yang berusia dibawah 7 tahun secara signifikan menunjukkan angka bertahan remisi yang lebih baik dengan pemberian terapi awal berupa kombinasi dengan CsA selama 2 tahun observasi yang dilakukan (P = 0,03). Yang masih menjadi pertanyaan ialah apakah terapi awal dengan CsA yang diintensifkan secara umum dapat direkomedasikan.

Studi sebelumnya yang dilakukan oleh Arbeitsgemeinschaft fur Padiatrische Nephrologie (APN) menunjukkan bahwa risiko kekambuhan pada pasien dengan sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) tergantung pada intensitas dari pemberian terapi awal dengan glukokortikosteroid (1,2). Sementara sebelum itu, data lain yang dipublikasikan (3,4) mengklaim bahwa risiko kekambuhan pada pasien SNSS secara positif berhubungan dengan derajat supresi adrenal oleh terapi steroid. Hal ini tidak dikonfirmasi oleh studi percobaan prospektif acak sebelumnya yang dilakukan oleh APN. Di sisi lain, terapi dengan glukokortikosteroid jangka pendek pada pasien dengan sindroma nefrotik menyebabkan kekerapan kambuh yang lebih sering dibanding dengan terapi standar (1). Pada studi yang baru saja dilakukan oleh APN, terapi awal telah diperpanjang menjadi 6 minggu dimana terapi dengan prednison 60 mg/m2 per luas permukaan tubuh diberikan setiap hari dilanjutkan dengan pemberian prednison 40 mg/m2 setiap 48 jam selama 6 minggu (2). Hal ini secara signifikan menyebabkan peningkatan angka kumulatif pasien dengan lebih lamanya waktu bertahan remisi setelah 2 tahun (49% dengan terapi awal standar yang baru berbanding 19% dengan terapi awal standar; P < 0,01).
Studi percobaan prospektif acak yang dilakukan oleh APN ini menimbulkan hipotesis bahwa jumlah terapi imunosupresan memiliki pengaruh terhadap kekambuhan pasien SNSS (5). Berdasarkan hipotesis ini, cukup beralasan untuk mendesain suatu studi dengan tujuan untuk menurunkan angka kekambuhan dengan meningkatkan pemberian imunosupresan awal. Oleh karena terjadi peningkatan efek samping yang terkait dengan pemberian glukokortikosteroid dengan terapi standar baru, tampaknya tidak diharapkan meningkatkan pemberian imunosupresan dengan meningkatkan dosis prednison.
Pada beberapa studi, cyclosporine A (CsA) telah dilaporkan sangat efektif mencegah kekambuhan pada pasien dengan SNSS (6-10). Levamisole digunakan oleh British APN pada studi percobaan acak dengan keberhasilan jangka pendek tetapi tanpa efek jangka panjang terhadap angka kekambuhan (11-14). Atas alasan tersebut, CsA dipilih untuk diuji sebagai agen imunosupresan tambahan untuk terapi awal anak dengan sindrom nefrotik idiopatik. Tujuan dari studi ini ialah untuk menguji hipotesis bahwa jumlah imunosupresan awal memiliki pengaruh terhadap kekambuhan dan untuk membuktikan efektivitasnya dalam menurunkan kekerapan kambuh, rerata angka kekambuhan tiap pasien, dan dosis prednison kumulatif yang diperlukan untuk mengobati kekambuhan, serta untuk menilai tolerabilitas dan keamanan pemberian imunosupresan total seperti efek samping yang berkaitan dengan pemberian CsA.

Materi dan Metode
Disain dari studi ini ialah prospektif, acak, multisenter, open label. Kriteria inklusi di antaranya pasien pediatrik (berusia 1 ingga 16 tahun) yang pertama kali menderita sindrom nefrotik dengan proteinuria > 40 mg/m2 per jam, konsenterasi albumin serum < 25 g/L, dan LFG normal (creatinine clearance > 68 ml/menit dibagi 1,73 m2); tidak pernah memperoleh terapi steroid atau imunosupresan sebelumnya; dan tidak berada dalam keadaan kontraindikasi terhadap terapi kortikosteroid. Biopsi ginjal tidak diminta pada saat kedatangan pasien. Persetujuan medis telah diminta dan diperoleh dari orang tua dan pasien sendiri, tergantung pada kemampuan perspektif masing-masing pasien. Kriteria eksklusi di antaranya kadar komplemen c3 yang rendah; pasien dengan glomerulonefritis pascainfeksi; dan penyakit sistemik seperti lupus eritematosus, diabetes, amyloidosis, vaskulitis, nefritis Schonlein-Henoch, nefritis metabolik atau toksik, hepatitis B, atau penyakit glomerular herediter.

Protokol Penelitian
 Pasien yang baru pertama kali mendertia sindrom nefrotik dipilih secara acak oleh coordinating office (dari Fakultas Kedokteran Hannover) dibagi menjadi dua kelompok: kelompok pertama diberikan terapi standar berupa prednison 60 mg/m2 per hari selama 6 minggu dilanjutkan dengan prednison 40 mg/m2 setiap 48 jam selama 6 minggu (kelompok Pred). Kelompok kedua diberikan regimen prednison yang sama ditambah dengan CsA dengan dosis 150 mg/m2 per hari selama 8 minggu (kelompok Pred + CsA). Pemberian CsA dimulai ketika urin dalam keadaan bebas protein selama 3 hari berturut-turut. Pasien yang tidak bersespon dalam waktu 4 minggu didefinisikan sebagai pasien yang tidak sensitif steroid dan dieksklusi dari studi. Karena alasan ini, CsA harus dimulai dalam 4 minggu pertama setelah pemberian steroid awal dan oleh karenanya, dirancang dengan durasi total 12 minggu terapi prednison. Definisi dan kriteria dari remisi dan kambuh sama seperti yang digunakan oleh International Study of the Kidney Disease in Children dan APN (15,16). Kekambuhan diobati sesuai dengan regimen terapi dari APN (60 mg/m2 per hari hingga urin bebas protein selama 3 hari dilanjutkan dengan prednison 40 mg/m2 setiap 48 jam selama 4 minggu). Pasien yang tidak berespon dalam waktu 4 minggu pemberian steroid dieksklusi dari studi dan menjalankan biopsi ginjal. Pasien dengan resistensi steroid sekunder juga menjani biopsi ginjal dan dieksklusi dari studi. Pasien dengan ketergantungan steroid sesuai dengan definisi dari APN diobati pada dengan Siklosposfamid (Gambar 1).
Titik potong utama (primer) ialah kekambuhan pertama setelah pemberian terapi awal. Untuk pasien yang menerima sikloposfamid, awal pemberian sikloposfamid merupakan titik potok sekunder pada studi ini. Keseluruhan follow-up ialah selama 24 bulan dan merupakan akhir dari waktu penelitian.
Data klinis dan nilai laboratorik telah dilaporkan kepada kantor pusat penelitian pada titik-titik waktu tertentu yakni saat permulaan terapi prednison; dan setelah 6 dan 12 minggu, serta 6, 12, 18, dan 24 bulan. Pasien yang diobati dengan CsA dimonitor dengan menilai Blood Trough Concentration CsA  12 jam (mAb; Abbott, Wiesbaden, Germany) pada hari ke-3, 7, 14, 28, 42, dan 56.
Komite etik dari setiap senter yang berpartisipasi menyetujui protokol studi ini. Persetujuan medis tertulis telah diminta dari orang tua dari setiap pasien sebelum studi dilakukan, yang dilakukan sesuai apa yang tercantum dalam Deklarasi Helsinki. Hal yang betul-betul merugikan, keterikatan pasien dalam mendapatkan obat, dan alasan tertentu yang mengharuskan perubahan protokol didiskusikan dengan seluruh kelompok studi. Tidak ada penyimpangan yang perlu dilakukan selama studi ini.

Analisis Statistik
Manajemen data dan analisis statistik dilakukan secara independen oleh Departemen Biostatistik Fakultas Kedokteran Hannover yang dimotori oleh H. Geerlings. Diperkirakan perbedaan sekitar 20% untuk kedua kelompok dan 80% untuk analisis, 40 kasus setidaknya diperlukan untuk masing-masing kelompok guna studi perbandingan, untuk perbedaan sekitar 15%, diperlukan 164 kasus. analisis sementara dilakukan demi alasan keamanan. Uji statistik dilakukan di akhir studi. Beberapa uji statistik pun dilakukan: Uji Mann Whitney U, uji T berpasangan dan tidak berpasangan, serta uji Wilcoxon rank dan  Kai Kuadrat (X2). Untuk analisis faktor risiko, regresi logistik, regresi Cox, dan receiver operator characteristics (ROC) telah diaplikasikan. Semua prosedur diolah dengan Statistical Package of Society Science (SPSS versi 11.0;SPSS, Inc., Chicago, IL).

Pasien
Pada awalnya pasien studi berjumlah 152 pasien yang telah dilaporkan ke coordinating office; 76 pasien dipilih secara acak lalu dikelompokkan menjadi kelompok Pred, dan 76 lainnya dipilih sebagai kelompok Pred + CsA. Pada kedua kelompok ini, beberapa pasien dieklusi setelah proses randomisasi. Alasan-alasan pasien dieksklusi dapat dilihat pada Gambar 1. 11 Pasien pada kelompok Pred dan 14 pasien pada kelompok Pred + CsA tidak ikut dalam penelitian karena mereka menolak persetujuan setelah proses randomisasi selesai. Empat belas pasien diekslusi karena diagnosis kemudian berubah menjadi penyakit dengan perubahan minimal yang tidak sensitif steroid. Lima pasien dengan glomerulonefritis segmental fokal dieksklusi pada kelompok Pred dan 6 pasien dengan tipe glomerulonefritis yang sama juga dieksklusi pada kelompok Pred + CsA. Dua pasien yang menderita infeksi varisela selama terapi diberikan juga dieksklusi dari studi demi alasan keamanan pasien. Pada mulanya mereka dipilih secara acak dan dikelompokkan ke dalam kelompok Pred + CsA tetapi mereka tidak pernah menerima CsA karena infeksi yang terjadi sebelum remisi tercapai. Hal yang sama juga berlaku pula pada seorang pasien dengan trombosis serebrovaskuler. Pasien lain menderita trombosis pada arteri karotis internal ketika  terapi sedang dijalani. Telah dinilai bahwa trombosis yang terjadi bukan disebabkan oleh terapi dalam studi ini melainkan gangguan berupa kinking pada arteri karotis pasien tersebut. Kasus ini dilaporkan pada jurnal terpublikasi lain (17). Seluruhnya, 13% dari 152 pasien dieksklusi dari studi karena alasan medis dan 18% tereksklusi karena alasan nonmedis.
Data demografis dari pasien (kedua kelompok) yang masih masuk dalam kriteria penelitian (Tabel 1) yang sebanding dan berada dalam rentang studi yang dilakukan APN sebelumnya. Konsenteras protein total, albumin, kolesterol, kreatinin, urea, magnesium, asam urat, IgA, IgG, dan IgM serum sebanding pada kedua kelompok dan tidak ada perbedaan secara statistik. Sebelum mencapai akhir dari observasi selama 2 tahun, 12 pasien pada kelompok Pred diobati dengan sikloposfamid karena mengalami kekambuhan disertai toksisitas steroid atau karena ketergantungan steroid. Pada kelompok Pred + CsA, lima pasien diobati dengan sikloposfamid dan tidak mencapai follow-up lengkap selama 2 tahun. Oleh karena itu, jumlah pasien (baik dari kelompok Pred maupun kelompok Pred + CsA) yang masih  berada dalam follow-up setelah 6 bulan ialah 53:49, setelah 12 bulan 46:45, setelah 18 bulan 45:44, dan setelah 24 bulan 43:44.
Hasil
Dosis pemberian CsA rata-rata dan pencapaian blood trough level dapat dilihat pada Tabel 2. Koreksi dosis individu dilakukan untuk menjaga trough level CsA pasien tetap berada dalam target kisaran 80-180 ng/ml. Konsentrasi CsA rata-rata berada di dalam rentang tersebut; meskipun sebagian individu memiliki konsentrasi yang rendah (35 ng/ml) dan  sebagian lainnya memiliki konsentrasi yang terlampau tinggi (355 ng/ml). Baik efek samping maupun efektivitas dari terapi CsA dapat memiliki korelasi terhadap dosis dan trough level masing-masing individu. Karakteristik absorpsi CsA tidak dinilai pada studi ini.
Setelah pemberian terapi lengkap, nilai tengah (median) dari periode bertahan remisi pada kelompok Pred ialah 12,5 bulan (dengan interval kepercayaan 95% berkisar antara 5,9  hingga 19,1 bulan) dan pada kelompok Pred + CsA ialah 22,8 bulan (dengan interval kepercayaan 95% berkisar antara 11,6  hingga 34,0 bulan; P = 0,1). Kurva Kaplan-Meier untuk periode bertahan remisi menunjukkan tertangguhnya kekambuhan pertama yang terjadi pada kelompok Pred + CsA (Gambar 2). Enam dan 12 bulan setelah terapi awal diberikan, perbedaan antara kedua kelompok terapi secara signifikan berbeda (P < 0,05); namun, setelah 18 dan 24 bulan, perbedaan tidak tampak lagi. Rerata kekambuhan pasien meningkat selama 2 tahun observasi; pada kelompok Pred + CsA, dan hanya sebagian pada kelompok Pred: Rerata kekambuhan per pasien pada kelompok Pred + CsA setelah 6, 12, 18, 24 bulan ialah 0,12, 0,63, 1,03, dan 1,03 dibanding dengan 0,57, 1,29, 1,56, dan 2,08 pada kelompok Pred secara berturut-turut.  Perbedaan kedua kelompok signifikan secara statistik, namun, hanya dalam waktu observasi 6 dan 12 bulan saja (P = 0,01 dan P = 0,02), tidak pada bulan selanjutnya (P = 1).
Dosis prednison kumulatif rata-rata yang diperlukan untuk menyembuhkan kekambuhan pada kelompok Pred + CsA lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok Pred. Setelah 6, 12, 18, dan 24 bulan, rerata dosis prednison kumulatif ialah 292, 953, 1864, dan 2854 mg/m2 dibandingkan dengan 698, 1683, 2808, dan 3824 mg/m2.  Perbedaan ini secara statistik tidak signifikan.    
 
Keamanan dan Tolerabilitas
Secara umum terapi dengan CsA lebih dapat ditoleransi oleh pasien. Infeksi yang berkaitan dengan terapi kombinasi (prednison + CsA) tidak dilaporkan. Perhatian terutama ditujukan pada efek samping yang dapat ditimbulkan oleh terapi kominasi tersebut yakni berupa efek samping nefrotoksik, tetapi dalam hal ini fungsi ginjal tidak menunjukkan adanya tanda-tanda detereorasi (kerusakan). Seperti yang ditampilkan pada Gambar 3, rerata konsenterasi kreatinin serum berada dalam kisaran yang sama pada kedua kelompok pada akhir minggu ke 12 setelah pengobatan awal. Pada seluruh pasien, Laju Filtrasi Glomerulus (dihitung dengan formula Scwartz [18]) dalam batas normal. Pada akhir studi, kreatinin serum sama pada kedua kelompok (46,2 ± 10,0 μmol/L pada kelompok Pred dan  48,2 ± 11,1 μmol/L pada kelompok Pred + CsA).
Tekanan darah meningkat dalam waktu sementara akibat terapi dengan CsA,  kenaikan tekanan darah sistolik rata-rata 10 mmHg sedangkan kenaikan tekanan darah diastolik rata-rata 8 mmHg, namun berangsur menjadi normal pada fase akhir dari terapi (Gambar 4). Tidak ada pasien yang mendapatkan terapi antihipertensi.
Efek sampinng lain yang berkaitan dengan terapi CsA seperti hipertensi dan hipertrofi gusi terlihat lebih sering terjadi tetapi berangsur kembali menjadi normal pada semua pasien (Gambar 5). Obesitas lebih sering dilaporkan terjadi selama pemberian terapi prednison yang lebih lama tatapi secara signifikan berbeda di antara kedua kelompok. Selama periode keseluruhan studi, striae distensae terjadi pada 25% pasien kelompok Pred dan 22,4% kelompok Pred + CsA. Gangguan psikologis telah dilaporkan lebih banyak terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi kombinasi; terjadi pada 27% pasien yang diterapi dengan CsA dibanding dengan 14% pasien yang diterapi dengan prednison saja.

Faktor Risiko untuk Kambuh
Meskipun terdapat beberapa perbaikan pada angka kekambuhan dengan meningkatkan pemberian imunosupresan awal, pertanyaan yang masih belum terjawab ialah mengapa sebagian pasien tetap mengalami kekambuhan dan sebagian yang lain tidak. Untuk mengidentifikasi faktor risiko untuk kambuh, lami telah melakukan analisis regresi multipel dan logistik.  Data demografik seperti usia, tinggi badan, berat badan, dan jenis kelamin, nilai laboratorik pada saat pasien belum mendapatkan pengobatan ataupun ketika mengalami remisi, serta konsenterasi CsA telah dimasukkan.
Analisis statistik menunjukkan bahwa hanya usia dan konsentrasi protein pada manifestasi awal yang merupakan faktor risiko signifikan.  Anak yang berusia kurang dari 7 tahun dan memiliki konsentrasi protein < 44 g/L memiliki risiko yang tinggi untuk kambuh dan secara signifikan menunjukkan angka bertahan dalam keadaan remisi lebih baik dengan terapi CsA (P = 0,03) selama 2 tahun observasi yang dilakukan (Gambar 6)
Seperti yang ditampilkan pada Gambar 7, regresi logistik menunjukkan bahwa usia pada saat manifestasi awal secara signifikan berkaitan dengan risiko kekambuhan setelah terapi awal. Pengaruh ini lebih jelas terjadi pada kelompok Pred dibandingkan dengan kelompokv Pred + CsA.  Risiko mengalami kekambuhan pada pasien usia 2 hingga 3 tahun ialah empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang berusia lebih dari tujuh tahun.

Diskusi
Dikenalnya secara empiris kontikosteroid untuk mengobati penderita sindrom nefrotik dengan perubahan minimal (Minimal-Change Nephrotic Syndrome/MCNS) pada pertengahan abad ke-21 ini memperbaiki morbiditas dan mortalitas. Namun, kekambuhan yang terjadi kira-kira pada 40% penderita yang merespon prednison (19) menyebabkan ketergantungan akan steroid dan juga berdampak pada efek samping yang berat dari penggunaan steroid (5,20-23). Oleh karena itu, percobaan multisenter telah dilakukan untuk menemukan modalias terapi yang dapat menurunkan angka kekambuhan dan ketergantungan steroid, serta menurunkan berbagai efek samping akibat penggunaan glukokortikosteroid.
Berlandaskan pada studi percobaan terkontrol acak, APN mengusulkan suatu terapi yang disebut dengan terapi awal standar yang baru, yakni pemberian prednisolon secara kontinyus setiap hari selama 6 minggu dilanjutkan dengan pemberian prednison pada hari-hari tertentu selama 6 minggu (2). Secara relatif kekerapan yang tinggi untuk terkena efek samping akibat steroid telah diimbangi dengan penurunan dosis steroid kumulatif yang diperlukan untuk mengobati  kekambuhan. Untuk mencegah dosis yang lebih tinggi, penambahan obat-obat imunosupresan yang telah terbukti efektif mencegah kekambuhan, cukup beralasan untuk dikombinasikan. Terapi sikloposfamid dapat menjadi pilihan, tetapi efek samping belum tentu tidak terjadi pada individu tertentu dari seluruh pasien, karena rata-rata 50% akan mendapat pengaruh terapi yang tidak perlu yang secara potensial merugikan.
Dibandingkan dengan obat lain, CsA memiliki keuntungan tersendiri yakni konsenterasinya dapat dihitung. Hal ini memungkinkan memperkirakan kepatuhan serta menyesuaikan dosis terhadap konsenterasi darah, yang telah diketahui memiliki efek imunosupresan pada kondisi tertentu, khususnya transplantasi organ. Telah jelas bahwa kisaran dosis dan trough level untuk pengobatan MCNS lebih banyak berdasar kepada pengalaman klinis daripada percobaan respon terhadap dosis.
Hingga saat ini, studi mengenai respon terhadap dosis tidak ada. Dari studi yang menggunakan CsA pada penderita sindrom nefrotik bergantung steroid, terdapat bukti yang jelas bahwa CsA efektif dalam mencegah kekambuhan selama obat diberikan; namun, setelah obat dihentikan, lebih dari 90% pasien akan mengalami kekambuhan segera atau setidaknya dalam 90 hari (25).
Pada studi ini, adalah mengesankan bahwa kelompok Pred + CsA secara signifikan mengalami kekambuhan dalam waktu satu tahun setelah akhir dari terapi. Namun setelahnya, efek obat melemah, dan setelah 2 tahunm angka kekambuhan hampir sama pada kedua kelompok. Beberapa data lain seperti rata-rata jumlah kambuh per pasien (0,12:0,57 setelah 6 bulan, 0,63:1,03 setelah 1 tahun, dan 1,03:2,06 setelah 2 tahun), dosis steroid kumulatif diperlukan untuk mengobati kekambuhan, dan jumlah pasien yang diobati dengan sikloposfamid karena mereka memenuhi definisi ketergantungan steroid, ialah lebih rendah pada kelompok Pred + CsA (5:12), tetapi tingkat perbedaan yang signifikan secara statistik tidak dapat dibuktikan (P = 0,1). Kombinasi dari semua faktor-faktor tunggal dapat mengarahkan kepada efek manfaat dari penambahan CsA selama 8 minggu.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa studi ini tidak didukung secara adekuat untuk menguji hipotesis perbedaan dalam urutan 10 hingga 20%.  Kami tidak bertujuan untuk meningkatkan jumlah pasien karena dua alasan: Pertama, pada desain awal, kami berencana untuk mengikutsertakan 150 pasien, dan kedua, manfaat biologis dari perbedaan ini tampaknya terlalu rendah untuk membenarkan kombinasi terapi ini bahkan dengan adanya konfirmasi statistikal dari studi yang lebih tinggi sekalipun. Mengenai efek samping, tidak hanya gangguan pada LFG yang telah dilaporkan setelah pemberian terapi CsA jangka panjang, tetapi juga perubahan-perubahan fungsional yang dapat disebabkan oleh pemberian jangka pendek juga telah dilaporkan. Hulton et al. (26) melaporkan penurunan LFG setelah 3 bulan peberian terapi takni dari 118 menjadi 93 ml/menit per 1,73 m2, yang bersifat reversibel setelah terapi CsA dihentikan. Selain fakta ini, toksisitas histologik yang berkaitan dengan penggunaan CsA telah dilaporkan. Terapi CsA selama 8 minggu pada studi kami ini tidak menyebabkan gangguan pada LFG yang daoat dihitung. Namun, terdapart efek tingkat sedang pada tekanan darah. Kenaikan tekanan darah ini bersifat sementara dan tidak memerlukan pengobatan dengan antihipertensif pada kasus tunggal. 
Efek samping kosmetik, seperti hipertrikosis dan hipertrofi gusi, lebih relevan dan untungnya bersifat reversibel sempurna. Hal ini dapat diterima bila manfaat berupa pencegahan kekambuhan telah sangat jelas. Gangguan psikologis, meskipun tidak dispesifikasi lebih jauh, terutama berupa gangguan perilaku dan ini menjadi perhatian utama. Perlunya kontrol ketat terhadap level darah CsA yakni dengan kunjungan yang lebih sering dibandingkan kunjungan pada kelompok Pred juga dinilai sebagai kerugian utama dari terapi kombinasi prednison dan CsA.
Tujuan dari studi ini ialah menurunkan jumlah pasien yang masuk dalam kriteria APN untuk mendapatkan terapi sikloposfamid. Terdapat manfaat jangka pendek, tetapi itu hanya efek yang sementara karena terjadi perubahan ke titik dimana angka kekambuhan kumulatif 2 tahun sama pada kedua kelompok.
Sebelumnya, kelompok Cochrane (27) menelaah studi percobaan terpublikasi mengenai lama pemberian prednison pada anak dengan episode pertama sindrom nefrotik. Sebuah metanalisis dari 6 studi percobaan yang membandingkan pemakaian prednison selama 2 bulan dengan pemakaian selama 3 bulan atau lebih untuk episode pertama menunjukkan bahwa secara signifikan durasi yang lebih lama menurunkan risiko kambuh pada 12 hingga 24 bulan (risiko relatif 0,70; dengan interval kepercayaan 95% 0,58 hingga 0,84) tanpa peningkatan risiko yang merugikan. Terdapat hubungan yang terbalik antara durasi pengobatan dan risiko kekambuhan (risiko relatif 1,26 hingga 0,112 durasi; R2 = 0,56; P = 0,03). Mereka menyimpulkan bahwa anak dengan episode pertama SNSS sebaiknya diobati setidaknya selama tiga bulan, dengan peningkatan manfaat bila diterapi lebih dari 7 bulan. Data ini mendukung hipotesis kami mengenai pentingnya jumlah pemberian imunospuresan awal tetapi tidak menyediakan alternatif untuk masalah klinis berkenaan dengan pemberian terapi steroid kumulatif yang tinggi.       

Kesimpulan
            Delapan minggu pemberian terapi CsA pada pasien dengan manifestasi awal SNSS memberikan pengaruh pada jumlah kekambuhan yang berlangsung selama satu tahun. Berkurangnya pengaruh tersebut setelah 2 tahun, seperti efek samping dan perlunya kontrol konsenterasi darah, mengurangi rekomendasi protokol ini pada semua pasien. Risiko kambuh yang lebih tinggi pada anak yang berusia lebih muda secara signifikan merupakan temuan yang penting. Penambahan terapi CsA tampaknya dapat menurunkan risiko tersebut tetapi tidak betul-betul menghilangkannya. Studi lebih jauh sebaiknya mengklasifikasikan pasien pediatrik yang menderita sindrom nefrotik berdasarkan kelompok usia, dan terapi intensif sebaiknya difokuskan pada kelompok yang lebih muda.
Akhirnya, tetap saja sulit menjelaskan bahwa efek dari CsA atau kombinasi steroid dengan CsA berlangsung lebih lama daripada efek jangka pendek CsA terhadap inhibisi kalsineurin limfosit dan terhadap inhibisi trnaskripsi dan sintesis sitokin, yang hanya berlangsung dalam hitungan jam. Dengan mempertimbangkan MCNS sebagai suatu penyakit podosit dengan destabilisasi sementara pada struktur dan fungsi podosit tersebut, merupakan hipotesis yang beralasan bahwa CsA menstabilkan struktur dan fungsi podosit dengan mengganggu target podosit molekuler daripada dengan efek imunosupresan secara tidak langsung.    
















TELAAH KRITIS JURNAL TERAPI
PERTANYAAN KRITIS
1.      Apakah alokasi subyek penelitian ke  kelompok terapi atau kontrol betul-betul secara acak (random) atau tidak ?
2.      Apakah semua keluaran (outcome) dilaporkan ?
3.      Apakah studi menyerupai lokasi anda bekerja atau tidak ?
4.      Apakah kemaknaan statistik maupun klinis dipertimbangkan atau dilaporkan ?
5.      Apakah tindakan terapi yang dilakukan dapat dilakukan ditempat anda bekerja atau tidak ?
6.      Apakah semua subyek penelitian diperhitungkan dalam kesimpulan ?

Dokter Muda Sedang Dalam Perbaikan Artikel yang Corrupt

|0 comments